HOME

Selasa, 05 April 2011

CENG BENG

Siang Ci Jit


Tanggal 3 Sha-gwee (bulan tiga im-lek) oleh orang Tionghoa dinamakan sebagai hari “Siang Ci Jit” disebut juga sebagai hari “Siang Ci Jit”. Pada zaman dahulu kala, kebanyakan orang-orang Tionghoa ketika itu pergi ke sungai. Mereka ke sana hendak mandi yang maksudnya untuk membersihkan badan, sambil berkumpul dengan sanak family dan sahabat-sahabatnya. Kaum wanita Tionghoa nya ada yang memetik bunga Lan-hoa dan bersembahyang.
Di zaman Dinasti Tong(Tang) pada tahun 618-907 Masehi, pada hari ini dirayakan oleh seorang menteri dengan mengikat pinggang mereka dengan daun cemara. Maksud menteri tersebut berbuat begitu agar mereka tidak digigit binatang kecil dan kena bisanya yang berbahaya.


Ceng Beng

Ceng Beng artinya Bersih dan Terang hampir mirip pada saat orang Tionghoa merayakan sembahyang menjelang Sin-cia atau Tahun Baru Im-lek. Ketika menjelang hari raya Tahun Baru Im-lek itu mereka membersihkan rumah0rumah mereka dari sampah dan debu.
Bedanya disbanding dengan Tahun Baru Im-lek, pada saat harian Ceng Beng ini orang-orang Tionghoa bukan membersihkan rumah-rumah mereka, tapi mereka membersihkan kuburan leluhur mereka.
Upacara membersihkan kuburan leluhur ini pun disebut The-tse atau dilafalkan dalam bahasa Hok-kian menjadi The-coa, karena biasanya orang yang sudah membersihkan kuburan leluhurnya mereka menebarkan kertas yang berukuran panjang selebar ibu jari di atas kuburan yang baru dibersihkannya itu.
Sajian yang disajikan di depan bong-pai (nisa) leluhur pada saat mereka bersembahyang di sana, biasanya tidak terlalu mewah seperti pada saat orang Tionghoa merayakan Sin-cia. Bagi orang-orang Tionghoa yang memelihara Hio-louw atau abu leluhur mereka, mereka mengadakan sembahyang di rumah mereka masing-masing.
Bagi orang yang kaya atau keadaannya lumayan, memang tidak ada larangan untuk sembahyang Ceng-Beng dengan mewah sekali, karena itu tergantung dari masalah biaya yang tersedia.
Dipandang dari sudut tradisi bangsa Tionghoa, sembahyang Yun-li ini sama pentingnya dengan upacara sembahyang Tso-chih atau peringatan hari wafat orang tua mereka.
Hari raya Ceng-Beng jatuh pada bulan tiga Yun-li, pada saat itu di Tiongkok pohon-pohon To sedang berbuah dan buahnya merah-merah ranum dan juga pohon Liu yang berdaun hijau. Cuaca di sana sedang nyaman dan indah, alam semesta pun kelihatan sangat cantik.
Di Tiongkok kita kenal ada empat musim besar, di antara 24 musim yang disebut Ji-sih Chiat-khi, empat musim besar itu ialah Musim Cun, Musim Chiu, Musim Hsia dan Musim T’ang atau yang disebut juga musim-musim seperti Musim Semi, Musim Gugur, Musim Panas, dan Musim Dingin atau Musim turun Salju.
Di awal bulan tiga pada saat alam sangat indahnya, bersih dan jernih atau terang memang pantas dirayakan. Kaisar yang pertama menganjurkan dirayakannya hari raya Ceng Beng ini adalah Kaisar Cin Bun Kong yang kisahnya sudah diceritakan di bagian muka buku ini.
Mengisahkan awal dari dirayakan perayaan hari raya Ceng Beng tersebut.
Harian Ceng Beng di Indonesia selalu jatuh pada tanggal 3-4 dan 5 April setiap tahunnya, ini pun penulis tidak mengetahui benar, mengapa selalu harus tepat pada tanggal 4-5 April saja? Mungkin karena menurut perhitungan penanggalan Im-lek, setiap empat kali dalam setahun hari raya Ceng Beng ini akan jatuh pada tanggal 4 April.
Pada saat orang Tionghoa pergi bersembahyang di rumah maupun di kuburan leluhurnya, pada umumnya mereka membawa masakan yang sudah matang. Makanan yang disajikan semua makanan yang biasanya menjadi kesukaan almarhum di masa hidupnya.
Mereka secara prbadi-pribadi datang ke kuburan leluhurnya masing-masing. Kemudian mereka bersembahyang di kuburan dan menikmati makanan bekas sembahyang yang mereka bawa dari rumah mereka dengan sesantai-santainya.

Cara Bersembahyang

Perlengkapan yang biasa mereka bawa bisa kita lihat, mereka membawa sepasang lilin berwarna merah, 3 cangkir the, 3 cangkir arak, tiga pisin (piring kecil) the-liau (gula baru), Tang-koa (manisan beligo) dan Seng-jin atau manisan Bi-cian. Tiga piring daging babi (atau kepala babi), ayam dan bebek rebus yang disebut sam-seng.
Sesudah sajian itu siap semua dan sudah ditata di atas meja abu atau meja sembahyang yang ada di kuburan, orang mulai bersembahyang.
Orang mulai memasang hio yang disojakan ke arah meja abu, baru hio itu ditancapkan di tempatnya atau hio-louw. Kemudian arak dituang ke sebuah cangkir arak kecil, dan arak itu kemudian dituangkan ke tanah, diisi lagi, lalu diletakkan di tempatnya.
Orang yang bersembahyang kemudian berlutut lagi. Sesudah dilakukan sio-pwee atau melempar uang biasanya gobangan dan sudah ada tanda selesai, maka sembahyang itu pun bisa atau boleh diakhiri.
Baru sesudah itu orang-orang membakar kertas Siu Kim dan kertas kuning. Sesudah sembahyang kepada Hok Tek Ceng Sin, baru sembahyang di makan orang tua. Sajian makanan untuk sembahyang di kuburan leluhur biasanya terdiri dari:
Sepasang lilin merah dinyalakan di depan bong-pai. Disajikan tiga piring dari daging babi, ayam dan bebek rebus yang disebut sam-seng. Empat piring yang berisi kue Siu-ku, hwat-kue, bi-ko dan sesisir pisang raja. Duabelas rupa atau lebih kue-kue dan buah-buahan, satu pisin berisi rokok atau sirih sesuai kebiasaan almarhum yang disembahyangi pada saat hidupnya. Satu cenap atau pisin berisi manisan, satu cankir air the, satu cangkir arak, satu mangkuk nasi, sepasang sumpit, sebuah sendok.
Jika yang disembahyangi adalah ayah atau ibu, maka cangkir the, gelas arak, sumpit dan sendoknya harus ditambah sesuai dengan jumlah orang yang disembahyangi.
Sesudah sajian sisa di atas meja sembahyang, pertama-tama anak-anak lelakinya yang bersembahyang dulu di depan meja sembahyang. Hio kemudian dinyalakan lalu disojakan ke depan meja sembahyang atau bong-pai.
Adapun Ciok-bun (teks sembahyangnya) berbunyi demikian:

 “Berdirinya Kerajaan Ceng (Mungkin karena untuk menghormati Kaisar Kong Hi dari Dinasti Ceng (Manchu), padahal sebenarnya kaisar Manchu itu musuh bangsa Han (Tionghoa) karena menjajah Tiongkok, tapi orang Tionghoa menghormati Kaisar Kong Hi ini) dengan Kaisar pertamanya bernama Kong Hie pada saat memerintah di tahun ke-11, tahun itu disebut tahun it Yu, tanggal satu bulan dua pagi harinya disebut Sin-bi.
Saya………..(sebut nama yang bersembahyang) dengan hormat menyajikan hidangan ini bersama dupa, hio dan kertas sembahyang, memberanikan diri berkata : Hok Tek Ceng Sin yang berkuasa atas Bumi, Toapekong yang adil di kuburan orang tua kami, mengucapkan banyak terima kasih, yang telah menjaga dan melindungi keluarga kami.
Saat harian Ceng Beng , kami membersihkan kuburan leluhur kami. Maka dengan hormat saya sediakan arak, buah-buahan. Saya harap Toapekong mau datang untuk bersantap. Dan kami mengharap keselamatan dan kesejahteraan dalam keluarga kami.”
Demikian biasanya teks sembahyang yang diucapkan pada saat sembahyang Ceng Beng itu.
Sesudah itu anak tersebut berlutut, mengisi arak ke cangkir arak. Kemudian arak itu dituang ke tanah; cangkir arak diisi kembali, letakan di meja-mejaan kuburan. Sesudah berlutut dan kui sebanyak 4 kali baru selesai. Sembahyang dilanjutkan oleh anak-anak perempuan, disusul oleh cucu lelaki dan perempuan. Baru sanak familinya.
Sesudah hio hamper padam, hidangan disingkirkan dari meja sembahyang. Baru bakar gin-coa dank o-coa di depan kuburan. Di atas kertas yang menyala orang menyiramkan segelas arak tiga kali berkeliling. Sedikit makanan dan daging dijatuhkan ke atas api yang sedang berkorbar. Maka selesailah upacara sembahyang. Mereka mulai menikmati makanan yang mereka bawa bersama-sama sanak familinya.
Perayaan Ceng Beng yang mula-mula dilakukan oleh Raja Cin Bun Kong, kemudian juga dilakukan di zaman Han. Seorang bernama In Tiang Su mengajari orang bersembahyang dan hanya membakar kertas saja. Karena pada masa lalu yang dibakar adalah kain sutera, kertas hanya sebagai pengganti dan merupakan symbol tradisi saja. Bisa dibayangkan jika sampai sekarang sutera yang dibakar, betapa mahalnya. Di zaman Ngo Tay (Lima Raja) tahun 421-618 sebelum Masehi orang mulai membuat kertas dengan bergambar aneka ragam.

*****
Kiat Mengusir Tikus

Siapa tidak kesal jika dirumah terlalu banyak tikus, apalagi jika tikus-tikus itu nakal-nakal sekali. Mereka merusak buku-buku koleksi, membuat gaduh, mencuri makan yang lupa kita simpa.
Tapi jika kita jebak dengan jebakan tikus, atau kita gunakan kucing untuk menangkapnya, malah diracun pun, pasti tikus-tikus itu tak akan habis-habisnya. Malah mungkin jadi bertambah banyak bermunculan tikus baru yang berdatangan kerumah kita
Menurut kepercayaan orang Tionghoa, di harian Ceng Beng adalah hari yang mujawab untuk membuat kiat pengusir tikus.
Caranya demikian:
Pada harian Ceng Beng dan kebetulan kita pergi ke kuburan atau tanah dari mana saja boleh. Kita ambil tanah lempung atau debu. Cara mengambilnya tidak harus dengan syarat waktu atau jam berapa saja boleh, asalkan di harian Ceng Beng.
Kemudian tanah itu kita bawa pulang, lalu kita gunting bulu anjing yang cukup banyak, lalu tanah itu kita aduk-aduk biar rata sekali dengan bulu anjing. Mengenai jumlah tanah dan bulu anjingnya bisa disesuaikan dengan tempat berapa banyak tempat yang akan kita taburi dengan tanah bercampur bulu anjing tersebut. Jika rumahnya luas sebaiknya tanahnya juga banyak.
Sesudah tanah yang dicampur bulu anjing dan telah jadi satu, kita jumput sedikit-sedikit, lalu kita tebarkan di pintu, dijendela, atau disela-sela tempat biasanya tikus lewat.
Pokoknya di mana saja di tempat sekiranya tikus sering lewat dan jangan terlewatkan. Sesudah itu kita tunggu hasilnya.
Kabarnya bubuk bercampur bulu anjing ini juga berkhasiat supaya ular tidak akan masuk ke dalam rumah kita.
Silahkan Coba!

*****

1 komentar: